SEMARANG, Joglo Jateng – Kejaksaan Negeri (Kota) Semarang menelusuri kemungkinan adanya praktik pungutan liar (pungli) oleh perangkat di tingkat bawah.
Praktik itu dilakukan dengan modus meminta sejumlah uang untuk membantu pengurusan biaya pengalihan hak atas tanah yang disebut biaya pologoro.
Hal itu dikhawatirkan mengganggu investasi di Ibu Kota Jawa Tengah.
Hal itu diungkapkan Kasi Pidsus Kejari Kota Semarang Agus Sunaryo.
BACA JUGA: Fix! Tidak Ada Calon Perseorangan di Pilkada DIY 2024
“Modus mafia tanah yang mengatasnamakan biaya pologoro,” katanya, Rabu (15/5).
Pologoro merupakan pungutan terhadap peralihan hak atas tanah dan bangunan milik desa.
Praktik semacam itu, kata Agus, akan membebani investor yang akan berinvestasi di Kota Semarang karena ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.
Kejari Kota Semarang sendiri telah menindak satu perkara pungli terhadap investor yang akan membeli di Ibu Kota Jawa Tengah ini oleh mantan Lurah Sawah Besar, berinisial JS.
Agus menjelaskan peristiwa tersebut terjadi pada 2021 saat tersangka masih menjabat sebagai lurah.
“Lurah sebagai salah satu penyelenggara negara tidak boleh menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan,” katanya.
BACA JUGA: Limbah Produksi di Pati Dibuang Sembarangan, Pemkab Minta Investor Perhatikan Lingkungan
Selain itu, lanjut dia, tersangka juga tidak pernah melaporkan uang yang diterimanya itu.
Tersangka memungut sekitar Rp 160 juta terhadap seorang pengusaha yang membeli sebidang tanah di Kelurahan Sawah Besar.
Uang tersebut, lanjut Agus, diduga merupakan pungutan atas biaya peralihan sertifikat dari Letter C ke hak milik.
Dari penyidikan yang sudah dilakukan, kejaksaan menyita uang Rp 160 juta yang diduga merupakan hasil pungli serta kuitansi penerimaan uang tersebut. (ara/adf)