SLEMAN, Joglo News – Pemilihan lokasi Bundaran UGM sebagai lokasi aksi Aliansi Jogja Memanggil atas pertimbangan matang.
Langkah ini diambil untuk menghindari potensi provokasi. Terutama titik awal yang rencananya berlangsung di kawasan DPRD DIY, Malioboro, Kota Yogyakarta.
Koordinator Aksi, BoengKoes, tak menampik isu provokasi berhembus kencang. Diawali dari munculnya isu gesekan dengan warga sekitar.
Lalu potensi penjarahan toko-toko di kawasan Malioboro hingga isu rasisme.
“Kenapa lokasi di Bundaran UGM? Karena ada isu provokasi di Malioboro, mulai dari penjarahan, rasisme, sampai ancaman terhadap PKL. Dalam artian, mereka yang mencari nafkah jangan sampai terganggu untuk kehidupan sehari-hari,” katanya.
Di satu sisi, pemilihan lokasi juga atas pertimbangan aksi-aksi sebelumnya. Termasuk kericuhan yang terjadi di kawasan Mapolda DIY.
BACA JUGA: Aliansi Jogja Memanggil: Publik Rasakan Tiga Hal Sekaligus, Marah, Kecewa dan Takut
Berupa pembakaran gedung oleh massa aksi yang tak dikenal.
BoengKoes mengingatkan agar peserta aksi tetap waspada terhadap penyusup. Berdasarkan pantauan Joglo News, aksi yang berlangsung di Bundaran UGM tergolong kondusif.
Diisi dengan orasi perwakilan elemen masyarakat dan lintas kampus di Yogyakarta.
“Setiap aksi pasti ada penyusup dan tidak bisa dinafikan. Karena itu imbauan kami, jangan terprovokasi, saling jaga kawan, dan lihat kanan-kiri,” ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara Indonesia, Zainal Arifin Mochtar, menilai rentetan aksi unjuk rasa wajib tetap ada.
Ini sebagai bentuk tekanan publik terhadap pihak penguasa. Agar agenda perbaikan negara tidak berhenti di tengah jalan.
“Aksi ini harus tetap dilakukan, karena kalau tekanan menurun, maksud perubahan yang kita dorong bisa hilang. Momentum ini harus dijaga,” ujar Zainal, yang akrab disapa Uceng.
Menurutnya, pemerintah kerap menakut-nakuti publik dengan isu tak bertanggungjawab.
Mulai dari aksi ditunggangi pihak tertentu hingga makar. Padahal negara, menurutnya, bisa mengusut jika ada pihak yang menunggangi aksi.
Kondisi ini justru semakin memperkuat ketidakcocokan masyarakat. Hadirnya isu-isu membuat keharmonisan bangsa tak muda terwujud.
Terlebih dengan upaya mengekang kebebasan dalam berekspresi.
“Kalau ada penunggang, tugas negara mencari siapa, bukan malah membatasi demo,” tegasnya.
Zainal menekankan bahwa esensi perbaikan terus didorong publik. Tidak hanya sebatas reformasi kepolisian dan birokrasi, melainkan menyentuh akar masalah.
Seperti legitimasi pemerintahan yang buruk hingga cacatnya demokrasi.
“Kalau pemerintahannya bagus, dia akan cari orang bagus. Tapi kalau legitimasi pemerintahan rendah, bagaimana bisa berharap penempatan orang baik di posisi strategis?” ujarnya.
Lebih jauh, Zainal mengkritik keterlibatan TNI dalam penanganan aksi. Ia menegaskan demonstrasi adalah ranah kepolisian, bukan militer.
Secara tegas, dia mendorong agar YNI kembali ke barak. Adapun tugas mengamankan stabilitas publik sipil adalah wewenang Polisi.
Tentunya dengan catatan reformasi pada tubuh kepolisian.
“TNI itu harus kembali ke barak. Polisi harus dididik agar tidak menggunakan kekerasan. Eskalasi kericuhan justru muncul karena penanganan yang keliru,” katanya.